Single atau Menikah yang Happy?




Tulisan ini aku adaptasi dari tulisan pendekku di IG yang bertema Single & Happy dari #30dayswritingchallenge

Kenapa pulak kata-kata single harus disandingkan kata happy seolah-olah single banyakannya gak hepi. Konyol!!!

Kalau kita mau lebih jauh menelaah kehidupan orang perorang, kebahagiaan tidak ditentukan oleh ada tidaknya pasangan. Apakah semua orang berpasangan berbahagia? yes pada awal-awalnya pasti semua bahagia, selanjutnya?

Jika lah hanya orang berpasangan yang berbahagia maka tidak akan ada angka perceraian, perselingkuhan, pelakoran dll atau minimal angkanya akan amat sangat kecil. 

Orang single merasa hampa dan kosong? tentu ada, banyak... tapi  orang menikah juga banyak bahkan buanyaaakk yg galau hampa bosan terus cari hiburan diluar bahkan hingga kebablasan. Ini berlaku utk laki-laki dan perempuan. Sama saja podo wae..

Jika dirunut-runut. Kebanyakan single yang "gragas", masih belum sembuh luka hatinya sudah terburu-buru mencari pasangan baru (dengan tujuan biar cepat move on atau sekadar show up ke mantan) biasanya hanya akan berakhir dengan sekian banyak kekecewaan dan bertambahnya deretan jumlah mantan. Aku mah ogah, satu mantan saja rasanya sudah terlalu banyak. Tapi manusia kan gak sama ya. Ada juga yang merasa fine-fine saja dengan sepasukan mantan tapi kemudian lelah hati karena pencarian tak kunjung berhenti. Pada akhirnya menikah dengan menebak-nebak, jalani saja lah sama yang ada didepan mata dengan harapan ke depan akan lebih baik. Ada sih yang lebih baik tapi prosentasenya sangat kecil dibanding yang berakhir buruk.

Jadi single and happy or unhappy sama saja dengan married  happy or unhappy. Kebahagiaan itu harus diusahakan dan diupayakan bersama. Ingat loh.. bersama ya bukan istri saja atau suami saja. Jika hanya salah satu yang memperjuangkan itu hanya cukup untuk mempertahankan pernikahan, tidak akan sampai pada membahagiakan. Enaknya single bisa berusaha suka-suka. Kalo married harus sinergi dengan pasangannya yang mana malah akan jadi ujian berat kalau pasangannya mager dan egois maunya dia saja yang dibahagiakan/dipahami tapi tak mau berbuat sebaliknya..

Kalo sudah terlanjur begini bagaimana? Kalau masih pacaran masih bisa dibuang kalau sudah menikah kan tidak semudah itu. Jalan terbaik tentu saja kita usahakan mengembalikan kebahagiaan dengan menyambung kembali komunikasi yang terputus. Dan kalau sudah terjadi komunikasi dan terambil kesepakatan langkah selanjutnya melaksanakan komitmen yang telah disepakati bersama.

Terdengar mudah secara teori. Nyatanya pada tataran praktek tidak semudah itu. Pasangan suami istri yang sudah "stabil" dengan kebiasaannya akan sangat suliit untuk merubah diri ke arah lebih baik. Sudah gak ada semangat. Kenapa cobak? Ya karena bara cinta itu tidak lagi berkobar seperti sebelumnya. Sudah gak ada motivasinya bahkan mungkin sudah padam karena  terabaikan. Akhirnya pihak lainnya.. ah sudahlah.. berusaha bertahan semampunya demi anak-anak dan "apa kata keluarga dan tetangga".  

Yahh..sejelek-jelek keputusan akhirnya yang merid tadipun berusaha jadi single lagi karena sudah tak sanggup lagi menahan beban sendiri dan kemudian berusaha be happy sendiri daripada double tapi hati iritasi dan tetap merasa sendiri. Menurut sudut pandang pribadiku, bersama tapi merasa sendiri itu rasanya seperti bunuh diri perlahan-lahan karena...

Hari demi hari kita berusaha mematikan rasa
 dan mengebaskan hati 
supaya tidak lagi terasa sakit ketika tersakiti
Jadilah kita menjalani hari seperti zombie
 hampa..
 Raga ada tapi pikiran mengembara entah kemana
Sendirian bisa jadi sedih dan sepi
 tapi lebih sedih lagi jika punya suami/istri  
tapi tetap berasa sendiri
~Nit~


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Soul's Home

Aku Adalah Teman Yang Tak Dianggap

Ciri-Ciri Kepribadian INFJ - Sering Dikira Dukun!